Empat Presiden RI DIKUDETA, SBY menyusul???
Jakarta
– KabarNet: “MENGGULINGKAN REZIM GAGAL YANG SEDANG BERKUASA”. Itulah
wacana yang tak mau sirna dari benak sejumlah kalangan masyarakat elemen
bangsa Indonesia saat ini. Terkatung-katungnya kasus mega korupsi Bank
Century, lalu maraknya praktek korupsi yang menyeret nama sejumlah
pejabat dan anggota DPR terutama kader-kader elit Partai Demokrat,
kemudian wacana kenaikan harga BBM dan Listrik yang sedang dipaksakan
oleh pemerintah, dan masih banyak lagi, semua itu membuat rapor
pemerintah rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dicorat-coret
dengan angka merah oleh masyarakat. Sampai akhirnya timbul wacana untuk
menggulingkan rezim gagal ini sebelum pemilu 2014. Apakah wacana ini
sah secara hukum dan Undang-Undang? Jawabnya adalah: “Sah!”
Bagaimanakah prosedur konstitusional pemakzulan seorang presiden Indonesia?
Wakil Ketua MPR-RI dari fraksi PPP,
Lukman Hakim Syaifuddin, pernah mengungkapkan bahwa tahap awal urusan
pemakzulan atau prosedur impeachment seorang presiden sepenuhnya menjadi
urusan DPR. “Apa yang mau disiapkan MPR, ini berpulang ke konstituen
tergantung DPR apakah Presiden melakukan pelanggaran hukum,” demikian
yang pernah dikatakan Lukman saat ditanya oleh wartawan pada acara ‘Pers
Gathering’ di Belitung, (12/11/2011) sekitar empat bulan yang lalu.
Lukman menjelaskan bahwa tahapan
pemakzulan presiden harus berawal dari pihak DPR. Lembaga DPR-lah yang
akan melihat dan menentukan apakah Presiden melakukan atau terlibat
dalam lima macam pelanggaran berat, seperti makar, korupsi, suap, tindak
pidana berat dan perbuatan tercela lainnya. ”DPR berpendapat dan diuji
di MK (Mahkamah Konstitusi), kalau terbukti, DPR merekomendasikan ke MPR
(untuk dilaksanakan) sidang istimewa,” demikian jelasnya. Oleh
karenanya MPR, kata Lukman, tidak memiliki persiapan apa-apa terkait
wacana pemakzulan. “MPR itu hanya di ujung nantinya,” tandasnya.
Sejarah Penggulingan Presiden-Presiden Indonesia
Sebetulnya, tindakan penggulingan
presiden dari jabatannya bukan merupakan hal baru bagi rakyat Indonesia.
Karena sejak era Orde Lama (ORLA) seluruh Presiden RI praktis terdepak
dari Istana dengan cara “digulingkan” (kecuali Presiden Megawati
Sukarnoputri yang turun dari jabatannya secara normal karena kalah
perolehan suara dalam Pilpres 2004).
Dibawah ini adalah catatan sejarah tentang cara pelepasan presiden-presiden Indonesia dari jabatannya:
Presiden RI ke-1 Alm.Presiden Sukarno : “Digulingkan” pada
tahun 1966 dengan cara kudeta tak berdarah oleh kelompok militer
dibawah pimpinan Mayjen. Suharto yang kemudian menggantikan Sukarno
menjadi Presiden RI ke 2.
Presiden RI ke 2 Alm. Presiden Suharto : “Digulingkan” oleh
aksi tekanan rakyat dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi
besar-besaran hingga menduduki atap gedung DPR pada tahun 1998. Aksi
unjuk-rasa ini akhirnya berhasil memaksa Suharto untuk lengser
meletakkan jabatannya sebagai presiden. Selanjutnya Suharto digantikan
oleh Wapres BJ Habibie yang menjadi presiden RI ke 3.
Presiden RI ke 3 BJ Habibie : “Digulingkan secara halus” oleh
DPR/MPR dengan cara Mosi Tidak Percaya dan menolak laporan
pertanggung-jawabannya dalam Sidang MPR, yang akhirnya membuat Habibie
kecewa dan enggan ikut dalam Pilpres. Presiden Habibie memangku jabatan
hanya 18 bulan saja.
Presiden RI ke 4 Alm. Abdurrahman Wahid : ”Digulingkan dengan paksa” dari
jabatannya oleh keputusan Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, yang
membuatnya terdepak dari Istana sebelum akhir masa jabatannya. Presiden
Abdurrahan Wahid (Gus Dur) menduduki kursi kepresidenan hanya 2 tahun 9
bulan.
Presiden RI ke 5, Megawati Sukarnoputri :
adalah satu-satunya presiden Indonesia yang turun dari jabatannya
secara wajar, yakni karena kalah dalam perolehan suara saat Pilpres
2004.
Dari catatan di atas, sejarah membuktikan
bahwa dari 5 Presiden RI yang terdahulu, hanya Presiden Megawati saja
yang turun dari jabatannya secara wajar, sedangkan 4 Presiden RI
sebelumnya dipaksa mengakhiri jabatannya dengan jalan “digulingkan”
melalui berbagai macam cara, ada yang secara berterang, dan ada pula
yang secara halus karena sengaja dikemas dengan bungkus konstitusi.
Namun apapun namanya, yang dialami oleh Empat Presiden RI tersebut di
atas adalah suatu “penggulingan”.
Sejumlah kader elit Partai Demokrat
belakangan ini gemar menggunakan istilah “makar” dalam merespon berbagai
pihak yang mereka tuding bermaksud menggulingkan pemerintah rezim SBY
sebelum akhir masa jabatannya pada 2014.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai
Demokrat Ramadhan Pohan, menuding bahwa pernyataan Ketua Umum Partai
Hanura, Wiranto, di sejumlah media yang menyatakan masa kepemimpinan
presiden SBY tak akan sampai 2014 dianggapnya suatu indikasi bahwa
Wiranto ingin bertindak makar menggulingkan SBY.
Pohan mengatakan agar Wiranto sebaiknya
bersaing secara sehat dan konstitusional. “Kita harus percaya konstitusi
kita kalau sirkulasi elite itu lima tahun sekali. Pak SBY 2014 sudah
tidak bisa lagi mencalonkan. Sudahlah kita selesaikan di situ, kecuali
presiden melakukan kesalahan konstitusional. Jangan ada masalah sedikit
bilang tidak akan sampai 2014,” ujarnya kesal.
Hal senada juga disampaikan oleh
Ketua DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul. Menurutnya, Wiranto sebaiknya
tidak menari di atas pihak-pihak yang ingin menjatuhkan SBY. Ruhut
menyebut mereka yang menginginkan SBY jatuh hanyalah sampah-sampah
politik. “Wiranto jangan latah. Menari di atas sampah-sampah politik.
Siapa sampah pol? Mereka yang mau melengserkan SBY!” tudingnya.
Tampaknya para kader elit Partai Demokrat
seperti Ramadhan Pohan dan Ruhut Sitompul lupa bahwa 4 (empat) Presiden
RI juga berakhir dengan cara “digulingkan”. Hanya caranya saja yang
berbeda, ada yang secara kasar dan terang-terangan seperti penggulingan
Presiden Sukarno, dan ada juga yang dikemas dengan “bungkus” tertentu,
semisal bungkus Sidang Istimewa MPR, bungkus Mosi Tidak Percaya, bungkus
penolakan Laporan Pertanggung-jawaban, dan sebagainya agar “terlihat
konstitusional”, padahal pada dasarnya sama saja bahwa itu semua adalah
tindakan penggulingan presiden. Para kader Demokrat tersebut lupa bahwa
Rakyat Indonesia sudah pernah menggulingkan 4 presiden, dan tindakan
tersebut terbukti sah-sah saja, bahkan dicatat dalam kitab-kitab
sejarah.
Penggulingan presiden dengan cara Kudeta
Bagi mereka yang sudah tak sanggup
bersabar lagi menunggu datangnya pemilu 2014 dan memilih langkah
penggulingan presiden diluar prosedur konstitusi, sebaiknya mencermati
pendapat mantan Menhankam Pangab Jenderal (Purn) Wiranto seputar masalah
Kudeta.
1] Wiranto berpendapat
bahwa satu-satunya pihak yang paling sanggup melakukan kudeta terhadap
pemerintah adalah pihak militer. Dalam sebuah diskusi dengan tema
“Kenaikan BBM = Makar” di Gedung DPR, pada hari Kamis
(8/3/2012), Wiranto membantah berbagai tudingan yang diarahkan kader
Demokrat kepadanya.
“Sebenarnya
yang mampu melakukan kudeta atau makar itu militer. Kenapa militer,
karena organisasinya kuat, mantap, solid, disiplinnya bagus dan
keberadaannya menyebar di seluruh negeri,” tutur Wiranto menjabarkan.
Dengan alasan seperti yang
tersebut diatas, petinggi militer, lanjut Wiranto, jika menginginkan
gerakan makar jauh lebih mudah dibandingkan organisasi lain. Upaya makar
ini biasanya terjadi di negara-negara berkembang. Sebagai contoh
Wiranto merujuk pada negara Thailand dan Myanmar.
Selanjutnya Wiranto mengatakan, kedudukan
seorang Presiden RI cukup kuat dalam menghadapi kemungkinan kudeta
“Kenapa di Indonesia tidak terjadi kudeta militer? Itulah hebatnya kita,
karena Presiden kita adalah panglima tertinggi. Siapa presidennya,
bagaimanapun potongannya, itu panglima tertinggi,” ujar Wiranto.
Organisasi militer di Indonesia menurut
Wiranto cukup unik, karena Panglima TNI wilayahnya dibagi habis kepada
para komando wilayah seperti Pangdam, Panglima Udara, Angkatan Laut,
Armabar dan lain sebagainya. Sehingga Panglima TNI, menurutnya, tidak
mempunyai kekuatan apa-apa, selain kekuatan komando melalui sub
koordinasi. “Yang punya kekuatan langsung itu Kostrad, tetapi
keberadaannya tidak di seluruh wilayah. Sehingga kalau mau melakukan itu
(makar, red.) tidak mungkin, karena tidak tersebar,” paparnya.
2] Lebih lanjut lagi
Wiranto menjelaskan bahwa kemungkinan makar juga bisa dilakukan oleh
warga sipil yang mempunyai posisi penting dan strategis di masyarakat,
seperti pemimpin partai politik atau pun organisasi masyarakat. Namun
keberadaannya head to head langsung dengan pemerintah dengan mengambil
sikap oposan. Dengan catatan, pemimpin ini bisa menggerakkan massa dalam
jumlah yang besar secara massif dan dalam waktu yang sangat singkat.
“Di Indonesia sangat tidak mungkin seorang pemimpin yang mampu
mengerahkan kekuatan besar dalam waktu yang cepat, tidak bisa,” tegas
Wiranto.
3] Yang ketiga, lanjut
Wiranto, adanya nasional disorder atau kesemrawutan hukum. Masyarakat
tanpa dikomando bergerak secara serentak seperti bola salju. Mereka
bergerak karena mengindikasikan hukum tidak ditegakkan secara baik oleh
pemerintah. Hukum dipandang tidak lagi dapat mengawal proses demokrasi,
melainkan jadi komoditas politik.
Kalau kita mempelajari paparan
Jenderal (Purn) Wiranto di atas dengan cermat dan seksama, sebetulnya
mengandung dua arti, tergantung dari bagaimana orang memahaminya. Karena
di satu sisi Wiranto seolah mengatakan bahwa Kudeta itu tidak mudah
dengan berbagai alasan yang dikemukakannya, namun disisi lain Wiranto
seolah memberikan “KUNCI” yang bisa dijadikan panduan bahwa “tindakan
kudeta sangat mungkin dilakukan” asalkan pihak-pihak yang terkait mampu
mengorganisir gerakannya seperti yang dipaparkan oleh Wiranto.
Misalkan, ada sebuah kelompok
organisasi massa yang setelah melakukan lobi-lobi khusus akhirnya
berhasil meyakinkan Panglima TNI untuk membantu kelompoknya melakukan
kudeta. Kemudian Panglima TNI pun berhasil meyakinkan para Pangdam di
setiap daerah untuk memobilisasi pasukan, atau, agar tidak menganggu
aksi kelompok yang akan melakukan kudeta, seperti saat militer
mendiamkan saja peristiwa aksi penggulingan Presiden Suharto pada tahun
1998. Kemudian kelompok ormas tersebut juga berhasil mengadakan
lobi-lobi dengan kelompok-kelompok mahasiswa dan ormas-ormas lain yang
sama-sama tidak puas dengan kinerja pemerintah agar bergabung dalam
gerakan kudeta. Kalau hal itu dilakukan, bukankah tidak mustahil nanti
pada akhirnya kelompok tersebut akan berhasil melumpuhkan pemerintah dan
melakukan kudeta? [KbrNet/adl]