KEBIJAKAN PUBLIK
“Paradigma
baru kebijakan publik adalah kembalinya peran dasar pemerintah sebagai
public service, jadi baik penerimaan maupun pengeluaran berorientasi
kepada pelayanan publik. Paradigma baru tidak bisa diterjemahkan sebagai
penambahan beban bagi masyarakat.” Dr. H. Masykur Wiratmo (alm)
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang
banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh
pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka
kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka
yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui
suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak.
Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara
yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan
publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan
segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau
meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran
negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak
untuk menarik pajak dan restribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan
berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta
mencapai amanat konstitusi. Setiap sistem politik pada dasarnya
memproduksi kebijakan publik. Dan sistem politik itu bisa berupa negara,
propinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan RW. “Institusi” seperti
ASEAN, PBB dan WTO adalah sistem politik juga, yang dapat disebut
supra-negara.
Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh
birokrasi (saja), melainkan dapat pula dilaksanakan oleh perusahaan
swasta, LSM ataupun masyarakat langsung. Misalnya, suatu sistem politik
dapat memutuskan untuk memberantas nyamuk. Sistem politik itu dapat
memerintah –tentu saja disertai kompensasi—sebuah perusahaan swasta
untuk melakukan penyemprotan nyamuk. Terminologi kebijakan publik
menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari
peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran dan struktur
pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan
pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Bagaimana keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa
menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara kepada amanat rakyat
yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi
agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan
dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh
terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan. Begitu juga pada
tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan pelaksanaan,
juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni proses yang
memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan
berpengaruh secara signifikan. Kebijakan publik menunjuk pada keinginan
penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis
merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan
keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan kebijakan tersebut efektif,
maka diperlukan sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa
peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang
telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur
pelaksana dan pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol publik,
yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini
dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak. Dalam
masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata,
sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat
demokratis, yang kerap menjadi persoalan bagaimana menyerap opini publik
dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik.
Kemampuan para pemimpin politik untuk
berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah
satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk
menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi.
Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa
memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu
pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi
dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan
dijalankannya. Dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat
dipahami dengan cara memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan dan
publik. Terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan tindakan
diantara sejumlah alternatif yang tersedia. Artinya kebijakan merupakan
hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik dari
pilihan-pilihan yang ada. Dalam konteks makro hal ini kemudian diangkat
dalam porsi pengambilan keputusan. Charles Lindblom adalah akdemisi yang
menyatakan bahwa kebijakan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan.
Karena pada hakikatnya sama-sama memilih diantara opsi yang tersedia.
Sedangkan terminologi publik memperlihatkan keluasan yang luar biasa
untuk didefinisikan. Akan tetapi dalam hal ini setidaknya kita bisa
mengatakan bahwa publik berkaitan erat dengan state, market dan civil
society, Merekalah yang kemudian menjadi aktor dalam arena publik.
Sehingga publik dapat dipahami sebagai sebuah ruang dimensi yang
menampakan interaksi ketiga actor tersebut. Dalam
pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam
birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya
suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa
pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa
persyaratannya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat
pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai
penerima layanan. Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian
politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah
proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan
termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup
kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik
sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu
sebagai variabel terikat. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau
kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai
dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo, 2002). Kekuasaan
merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan
berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti,
1992).
Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah
ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur
birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai politik
selnjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam
lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung
seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota
legislatif dipilih langsung oleh rakyat.
Kekuasaan
cenderung korup adalah ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam
bahasa Inggrisnya adalah Power tends to crrupct. Apa benar?? Memang
belum tentu benar, tetapi ungkapan tersebut tentu telah melalui
penelitian dan pengalaman bertahun-tahun. Jangan heran jika banyak orang
menyebut bahwa ‘kebijakan dibuat untuk dilanggar’. Dengan dalih untuk
kepentingan umum, kini kebijakan sulit dipercaya, sebagian menduga
kebijakan tak lain untuk memenangkan kelompok tertentu. Kebijakan publik
adalah kalimat yang kini banyak diadopsi oleh semua gerakan masyarakat
sipil. Dengan mengaitkan semua perjuangan sosial pada bendera kebijakan
publik maka diharapkan ada kucuran uang yang mengalir. Kebijakan baru
dibuat kini bisa dibayangkan sebagai ‘lahan’ garapan yang hanya
memuaskan perut dan hawa nafsu kelompok tertentu. Bahkan parahnya mereka
seakan tidak tahu malu mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuat
secara terang-terangan. Kita tahu bahwa kebijakan semata dibuat untuk
memperbaiki semua keadaan, namun kini terbalik kebijakan hanya dijadikan
tameng kelompok tertentu yang memiliki kepentingan lain di atas
kebijakan yang dibuat. Fadillah Putra, Dosen Unibraw Malang dalam
bukunya yang berjudul Kebijakan Tidak untuk Kepentingan Publik, mencoba
mengungkapkan dengan tajam dan satir mengenai kebijakan publik
meminggirkan peran rakyat. Menghadap kita pada kenyataan-kenyataan yang
memunculkan berbagai pertanyaan, sesungguhnya kebijakan berpihak pada
siapa? Karena sudah banyak kebijakan yang lahir tanpa melalui
pertimbangan kemanusiaan, dan buah dari kebijakan inilah yang membawa
musibah bagi publik. Faktanya kebijakan publik bukannya untuk
menentramkan, malah menyengsarakan. Sedangkan kebijakan yang menindas
kaum miskin, seolah menjadi hal yang lumrah. Fadillah mencoba
menggambarkan beberapa kebijakan pemerintah yang bukan mencari solusi
namun menambah persoalan baru, baginya semua cara akan menjadi halal
apabila banyak yang ‘menikmati’. Pemikiran Fadillah ternyata cukup
mewakili aspirasi dan realitas yang ada di Provinsi Banten, kita ingat
menjelang Pemilu 2004 silam anggota DPRD Banten membuat kebijakan
anggaran untuk dana Perumahan mereka, dana perumahan di ambil dari dana
tak terduga yang seharusnya dana tersebut di peruntukkan sebagai dana
taktis yang dapat di gunakan sewaktu-waktu apabila terjadi sesuatu
musibah yang terjadi di masyarakat, di saat itu terjadi kebanjiran di
wilayah labuan Pandeglang. Pemprov Banten tak berdaya karena dana tak
terduga sudah di belanjakan untuk mengontrak rumah sendiri Pimpinan dan
Anggota DPRD Provinsi Banten yang penuntasannya hingga kini masih
“tebang pilih”. Melalui Lobi dan deal politik dengan para petinggi
birokrasi memuluskan ambisi melalui produk kebijakan publik. Kalau sudah
begini yang namanya money politics tentu menjadi kewajiban. Kebijakan
publik di sektor tata ruang sering kali tdak memiliki sensitivitas
terhadap lingkungan hidup, entah terlampau teknokratik atau ekonomis.
Sehingga andaikata kebijakan publik dilaksanakan dengan jujur dan tanpa
KKN sekalipun, bila masih teknokratik, lingkungan akan tetap rusak,
sebab semuanya dihitung secara ekonomis. Seperti halnya dalam penentuan
pusat Ibukota Kabupaten Serang yang lalu di Kecamatan Baros, sangat
menafikan aspirasi masyarakat Kabupaten Serang yang selama ini
menginginkan adanya pemekaran, di samping Baros sebagai kawasan hijau
dan daerah resapan yang amat potensial merusak lingkungan. Kebijakan
tata ruang dibuat untuk memberikan keuntungan pengusaha properti
tertentu. Cukong-cukong tanah, si pengusaha properti memberi sogokan dan
pemerintah memberi fasilitas kebijakan. Smith mengatakan ada empat
variabel yang perlu diperhatikan dalam proses kebijakan. Pertama,
idealized policy yakni pola interaksi yang secara ideal mendorong,
mempengaruhi dan merangsang target grup dalam pelaksanaannya. Kedua,
target grup, bagian dari policy stakeholders diharapkan sebagai perumus
kebijakan yang dapat menyesuaikan pola perilaku dengan kebijakan yang
dirumuskan. Ketiga, implementing organization adalah badan pelaksana
atau unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam kebijakan.
Keempat, environmenental factor, yaitu unsur-unsur dalam lingkungan yang
mempengaruhi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan
politik). Jika kita mengacu pada pola Smith, maka bukan mustahil jika
kebijakan yang kita buat benar-benar adil tanpa ada pihak lain yang
mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut.
Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi
Analisis Proses Kebijakan Publik yang ditulis oleh DR. Joko Widodo, M.S,
seorang widyaiswara Diklatpim Jawa Timur dengan ringan membahas
dasar-dasar analisis kebijakan publik. DR. Joko Widodo, M.S., memberikan
gambaran situasi pasca reformasi, dimana pemerintah saat ini sedang
mengupayakan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di
daerah. Dan memang karena beliau orang daerah, maka otonomi daerah
menjadi dasar pijakan beliau untuk memulai uraian analisis kebijakan
publik. Untuk menghadapi situasi yang ada sekarang ini, menuntut
ditingkatkannya profesionalisme mesin birokrasi. “Pemerintahan pada
dasarnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk
melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat untuk
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan
bersama”. Dalam pandangan Weberian prinsip-prinsip mengenai birokrasi,
dimana dalam pandangannya, birokrasi diciptakan untuk melayani dan
profesional. Sesuai dengan pandangan ini, kinerja birokrasi harus bisa
dipertanggungjawabkan kepada khalayak umum, sebab government
organizations are created by the public, for the public and need to be
accountable to it. Sebuah birokrasi harus akuntable, terbuka dan
transparan.
Implementasi kebijakan publik
Kebijakan publik paling tidak mengandung tiga komponen dasar, yaitu:
(1) tujuan yang hendak dicapai,
(2) sasaran yang spesifik, dan
(3) cara mencapai sasaran tersebut.
Cara
mencapai sasaran inilah yang sering disebut dengan implementasi, yang
biasanya diterjemahkan ke dalam program-program aksi dan proyek.
Aktivitas implementasi ini biasanya terkandung di dalamnya: siapa
pelaksananya, besar dana dan sumbernya, siapa kelompok sasarannya,
bagaimana manajemen program atau proyeknya, dan bagaimana keberhasilan
atau kinerja program diukur. Secara singkat implementasi kebijakan
adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih
dan tidak kurang. Tujuan kebijakan pada hakekatnya adalah melakukan
intervensi. Oleh karenanya implementasi kebijakan sebenarnya adalah
tindakan (action) intervensi itu sendiri.
Presman
dan Wildavsky (1973: xiii) mendefinisikan implementasi kebijakan
seperti apa yang dikatakan oleh Webster and Roget, sebagai “to carry out, accomplish, fulfill, produce, complete”. Di sini mereka memulai studi mereka dengan asumsi bahwa implementasi adalah getting things done. Sedang Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan implementasi kebijakan sebagai “those
actions by public and private individual (or groups) that are directed
at the achivement of objectives set forth in prior policy decisions”.
Martin Rein and Francise Rabinovitz, dalam bukunya Implementation: A Theoritical Perspective (1978), mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai :
(a) a declaration of government preferences;
(b) mediated by a number of actors who,
(c) create a circular process characterized by reciprocal power relations and negotiations.
Mereka mengindikasikan bahwa proses implementasi didominasi oleh tiga “potentially conflicting imperatives”, yaitu:
a.
The legal imperative (respect for legal intent. To do what is legally
required. This imperative stresses the importance of subordinate
compliance to rules which derive from legislative mandates along the
lines discribed by Lowi’s “classical” theory).
b.
The rational bureaucratic imperative (what from a bureaucratic point of
view is morally correct, administrative feasible, and intelectually
defensible course of action. Emphasis here is on such bureaucratic norms
as consistency of principles, workability, and concern for
institutional maintenance, protection, and growth).
c.
The concensual imperative (to do what is necessary to attract agreement
among contending influential parties who have a stake in the outcome)
Mazmanian
dan Sabatier (1983) memberikan gambaran bagaimana melakukan intervensi
atau implementasi kebijakan dengan langkah sebagai berikut:
(1) mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi,
(2) menegaskan tujuan yang hendak dicapai, dan
(3) merancang struktur proses implementasi.
Program
dengan demikian harus disusun secara jelas, jika masih bersifat umum,
program harus diterjemahkan secara lebih operasional menjadi proyek.
Dalam siklus kebijakan publik, dengan demikian tindakan implementasi
kebijakan merupakan salah satu tahapan yang amat penting dari
keseluruhan proses kebijakan publik. Implementasi kebijakan merupakan
serangkaian kegiatan (tindakan) setelah suatu kebijakan dirumuskan.
Tanpa suatu kegiatan implementasi, maka suatu kebijakan yang telah
dirumuskan akan menjadi sia-sia. Implementasi kebijakan dengan demikian
merupakan rantai yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan
yang diharapkan. Kelahiran studi implementasi kebijakan di awali oleh
banyaknya kegagalan yang dialami oleh negara-negara maju dalam
mengimplementasikan berbagai kebijakan publik yang telah dibuat. Sebagai
contoh kebijakan Departemen Pertahanan Amerika Serikat di bawah
pemerintahan Presiden Ronald Reagen dalam perang di Timur Tengah. Perang
ini telah menimbulkan defisit keuangan negara yang sangat besar bagi
Amerika Serikat. Warga negara AS kemudian mengkritik pemerintah dan
mengancam tidak mau membayar pajak. Pada hal keuangan negara AS sangat
tergantung dari pajak yang dibayarkan oleh warganegaranya.
Kegagalan
implementasi kebijakan tersebut kemudian memunculkan minat para pakar
kebijakan publik untuk mengkaji dan mencari penyebab kegagalan tersebut.
Artinya studi (research) tentang implementasi kebijakan
dilakukan untuk mengetahui (mencari) faktor penghambat dan pendukung
implementasi suatu kebijakan. Hasil studi yang diperoleh selanjutnya
dijadikan referensi (acuan) bagi pelaksanaan kebijakan publik
selanjutnya.
PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK
MODEL KEBIJAKAN
(Allison, 1981)
1. Rational actor;Sosok pemerintah sebagai kotakhitam, spt aktor individual
2. Organisational
process;Kebijakan sebagai output organisasi, dg struktur, system
koordinasi, kerjasama antarsatuan, SOP. Ekspektasi terhadap kebijakan:
inkremental
3. Bureaucratic
politics; Kebijakan pemerintah adl produk politik, tawar-menawar,
tergantung persepsi dan posisi para pelaku. “Where you stand depends on
where you sit”.
INSTRUMEN KEBIJAKAN
1. Peraturan perundangan; Kewenangan membuat peraturan
perundangan adalah sumberdaya unik bagi pemerintah
2. Layanan umum (public services); Pemerintah = organisasi penyelenggara layanan umum paling besar. Catatan: terkadang swasta & Ornop lebih efektif, efisien
3. Dana; Ideal: 45% untuk kesra. Di Indonesia: 69% untuk aparat.
4. Pajak;
“The government giveth and the government taketh away”. Pembebasan
pajak (tax holiday) & pajak progresif sebagai instrument distribusi.
5. Imbauan (suasion); Atas nama kepentingan umum, pemerintah punya posisi lebih baik untuk menyampaikan imbauan.
TATA URUTAN PERUNDANGAN
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang
4. Perpu
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah.
Catatan:
1. Semua pihak harus dilindungi haknya
2. Efektivitas perundangan berlainlainan. Kelengkapan perundangan tidak menjamin kualitas kebijakan yg baik
3. Pelaksanaan peraturan jauh lebih penting daripada ratifikasinya.
TANTANGAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA
1. Mewujudkan Negara kesejahteraan (welfare state)
2. Pemberantasan korupsi
3. Partisipasi
4. Desentralisasi
5. Keberagaman
6. Posisi politik internasional
WELFARE STATE UNTUK INDONESIA ?
Welfare
State: Sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah)
untuk mengalokasikan dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan
dasar warganya (Spicker, 1988)
Fakta di Indonesia:
a. 97,5% aset nasional ternyata dimiliki oleh 2,5% konglomerat
(BPS, 1997)
b. SBY
menargetkan pajak sebesar 19% dari PDB tetapi belanja kesejahteraan
social hanya 4% dari PDB PROSES KEBIJAKAN (Jones, 1984) Justifikasi
Rekomendasi Perubahan Solusi Masukan program ke pemerintah Evaluasi
Penyesuaian “Terminasi” Layanan Pembayaran Kemudahan Pengawasan
Tanggapan teknis pemerintah terhadap masalah Implementasi Proposal
Program Anggaran Tindakan dari pemerintah Formulasi Legitimasi
Penganggaran Masalah Tuntutan (demand) Akses Prioritas Masukan masalah
ke pemerintah Persepsi Agregasi Organisasi Representasi Penyusunan
agenda.
Kegiatan Kategori Produk
MODEL PERUMUSAN AGENDA
a. Problem stream
b. Policy stream
c. Political stream
d. Agenda
SIAPA YANG TERLIBAT DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN?
a. Di dalam pemerintahan: eksekutif, birokrat, politisi.
Catatan:
ada banyak pihak yang bekerja untuk aktor di pemerintahan: staf ahli,
akademisi, kelompok profesional, staf khusus DPR, lembaga penelitian,
konsultan, dsb
b. Di
luar pemerintahan: kepentingan pribadi, pengusaha, kelompok
kepentingan, kelompok penekan. Masing-masing kelompok ini kemungkinan
juga memiliki staf ahli, akademisi, konsultan, atau staf khusus.
KEMAMPUAN YANG DITUNTUT BAGI PERUMUS KEBIJAKAN
a. Melihat kaitan kebijakan dengan isu eksternal. Mis: isu energi dengan lingkungan
b. Melihat kaitan dengan isu internal. Misalnya: isu bencana banjir dengan perencanaan kota, konservasi lingkungan
c. Mengetahui apa yang harus dilakukan; analisis data, pengalaman, intuisi
d. Mengetahui dampak positif maupun negatif; projektif maupun reaktif.
SUMBERDAYA PERUMUS KEBIJAKAN
1. Inisiasi
2. Staff dan perencanaan
3. Komunikasi dan publisitas
4. Dukungan lembaga
5. Penggalangan antar-elit
6. Pendanaan
7. Sanksi dan control Inisiasi Komunikasi dan publisitas Penggalangan antar-elit Sanksi dan kontrol
SUMBERDAYA IDENTIFIKASI KEKUATAN PENGARUH (Leverage Points)
a. Isu Tata-ruang
b. Isu Pengangguran
c. Isu Lingkungan (Bauer & Gergen, 1968:185)
BIROKRASI: MENGUBAH CONFLICT
MENJADI DISPUTE?
Respon
birokrat thd konflik (Ellison, dlm Nagel & Mills, 1991) Inisiasi
Stimulasi Eskalasi Cegah / Pendam Persempit / Mediasi Pecahkan /
Resolusi Amati Biarkan Abaikan Hindari Sikap Terhadap Konflik:
+ _ Sikap Terhadap Tindakan
+_ LEGITIMIZING POLICIES (Mengabsahkan Kebijakan) Mengapa tidak semua rumusan kebijakan secara otomatis dapat terlaksana?
Persoalan legitimasi:
1. Tidak
semua perumus kebijakan paham tentang proses kebijakan, peka terhadap
masalah publik, dan piawai dalam menyepadankan instrumen dan tujuan
2. Pertentangan antar stake-holders tentang cara memecahkan masalah publik
3. Banyak kepentingan yang belum terakomodasi
4. Komunikasi dari para perumus kebijakan kurang efektif dan kurang berhasil meyakinkan publik.
BENTUK-BENTUK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
a. Pelayanan; pendidikan, kesehatan, kependudukan
b. Pembayaran; subsidi, BLT
c. Kemudahan (access); infrastruktur, listrik, telepon
d. Pengawasan; IMB, UU antimonopoli.
Tiga pilar implementasi (Jones, 1991):
1. Organisasi
2. Interpretasi
3. Pelaksanaan, prosedur / ketentuan rutin Konteks
Tata-Pemerintahan dan Kebijakan Publik
Outcome sebagai hasil kerjasama Jalur Input Output manajemen public Hasil bersama (coproduction) Penegakan Kinerja (enforcement) Perspektif yang tepat bagi implementasi Mengundang partisipasi Menunjukkan arah kebijakan Penciptaan kurang kerja Penilaian hasil Pembebanan (Imposing).
Analisis Kebjakan
Analisis
kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para
pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di
dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan
dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai
alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada
pihak pembuat kebijakan. Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian
kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya
kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu.
Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada
permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah
rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan
sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama
yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar
didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2000: 117) membedakan
tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu:
1.
Analisis kebijakan prospektif. Analisis Kebijakan Prospektif yang
berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan
dimulai dan diimplementasikan. Analisis kebijakan disini merupakan suatu
alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan
alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif,
diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau
penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.
2. Analisis
kebijakan retrospektif. Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai
penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan.
Terdapat 3 tipe analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh
kelompok analis ini yakni analis yang berorientasi pada disiplin, analis
yang berorientasi pada masalah dan analis yang berorientasi pada
aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis retrospektif ini terdapat
kelebihan dan kelemahan.
3. Analisis
kebijakan yang terintegrasi. Analisis Kebijakan yang terintegrasi
merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para
praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi
informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Analisis
kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk
mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga
menuntut para analis untuk terus menerus menghasilkan dan
mentransformasikan informasi setiap saat.
Salah satu esensi kehadiran kebijakan publik (public policy)
adalah memecahkan masalah yang berkembang di masyarakat secara benar.
Meskipun demikian, kegagalan sering terjadi karena kita memecahkan
masalah secara tidak benar.
Analisis kebijakan publik (public policy analysis)
merupakan upaya untuk mencegah kegagalan dalam pemecahan masalah
melalui kebijakan publik. Oleh karena itu, kehadiran analisis kebijakan
berada pada setiap tahapan dalam proses kebijakan publik (public policy process).
Buku ini membahas analisis kebijakan publik secara kritis, gamblang,
dan mudah dipahami karena dalam menganalisis setiap tahapan poses
kebijakan publik tidak sekadar disuguhkan teori dan konsep tetapi juga
aplikasinya. Dengan demikian, buku ini tidak saja sangat laik dijadikan
wacana bagi pembuat kebijakan (policy maker),
tetapi juga bagi pelaku dan stakeholder kebijakan publik. Bahkan,
sangat laik pula bagi mahasiswa, pemerhati kebijakan publik, dan
khalayak sebagai kelompok sasaran (target groups) kebijakan publik.