Sabtu, 06 Oktober 2012

MK: HUKUM ACARA PIDANA

Hukum Acara Pidana
 (Hukum Acara Pidana Indonesia Prof. DR. Andi Hamzah, S.H.)



ACARA PIDANA SEBELUM ZAMAN KOLONIAL

Pada waktu penjajah Belanda datang pertama kali di Indonesia telah tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut Hukum Adat. Pada masa primitive  pertumbuhan hukum, yang dalam dunia modern dipisahkan dalam hukum privat dan hukum public, tidak membaadakan kedua bidang hukum itu.
Hukum Acara perdata tidak terpisah dari Hukum Acara Pidana. Tuntutan Perdata dan tuntutan pidana merupakan suatu kesatuan, termasuk lembaga – lembaganya.
Supomo menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta adalah suatu totalitas yaitu bahwa Manusia beserta makhluk lain dan Lingkungannya merupakan suatu kesatuan, alam gaib dan alam nyata tidak dipisahkan. Sehingga yang paling utama adalah keseimbangan dan keharmonisan antara satu dengan yang lainnya. Segalanya perbuatan yang menggangu keseimbangan itu merupakan pelanggaran hukum (adat).
Hazairin dalam tulisannya berjudul “Negara tanpa penjara dalam Tiga Serangkai Tentang Hukum menulis bahwa dalam masyarakat tradisional Indonesia tidak ada pidana penjara.
Hukum pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia searing digantungkan pada kekuasaan Tuhan.
Bentuk – bentuk sanksi hukum adat (dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het Adatrecht bagian X yang disebut juga dalam buku Supomo tersebut, yaitu sebagai berikut :
1.            Pengganti kerugian “immaterial” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan.
2.            Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai peganti kerugian rohani.
3.            Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib
4.            Penutup malu, permintaan maaf
5.            Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati.
6.            Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluat Tata Hukum.


PERUBAHAN PERUNDANG – UNDANGAN DI NEGERI BELANDA YANG DENGAN ASAS KONKORDANSI DIBERLAKUKAN PULA DI INDONESIA

KUHAP yang dianggap sebagai produk nasional, merupakan penerusan pula asas – asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned strafvordering 1926 yang lebih modern. Pada Bab I dikemukakan asas – asas hukum acara pidana yang terdapat dalam KUHAP yang seluruhnya terdapat pula pada Nev. Sv.
Kita terbawa oleh arus kepada perubahan penting perundang – undangan di negeri Belanda pada tahun 1838, pada waktu mana mereka baru saja terlepas dari penjajahan Prancis.
Pada waktu itu, golongan logis yaitu yang memandang bahwa semua peraturan hukum seharusnya dalam bentuk undang – undang sangat kuat. Berlaku ketentuan pada waktu itu bahwa kelaziman – kelaziman tidak merupakan hukum, kecuali bilamana kelaziman tersebuit ditunjuk dalam undang – undang (aturan hukum yang tertulis dan terbuat dengan sengaja)
Sebelum itu, VOC pada tahun 1747 telah mengatur organisasi peradilan pribumi di pedalaman, yang langsung memikirkan tentang “Javasche wetten” (undang – undang Jawa). Hal itu diteruskan pula oleh Daendels dan Raffles untuk menyelami hukum adapt sepanjang pengetahuannya. Tetapi dengan kejadian di negeri Belanda itu maka usaha ini ditangguhkan.
Mr. H.L. Wichers seorang legis yang berasal dari Groningen. Pada waktu masih di Belanda ia mempelajari rancangan Panitia Scholten. Ia berpengalaman sebagai bekas jaksa dan anggota dewan pertimbangan agung. Ia berangkat ke Hindia Belanda pada bulan Mei 1846
Tiga pekerjaan utama yang ;diselesaikan selama satu setengah tahun, yaitu pertama peraturan mengenai peradilan, kedua mengwnai perbaikan kitab undang-undang yang telah ditetapkan itu, dan ketiga pertimbangan tentang berlakunya hukum Eropa untuk orang Timur.
Isi dari firman Raja tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 yang diumumkannya di Indonesiadengan Sbld 1847 Nomor 23 yang terepenting ialah yang tersebut Pasal 1 dan Pasal 4.

Peraturan – peraturan hukum yang dibuat untuk “Hindia Belanda” yaitu sebagai berikut.

Ketentuan Umum tentang Perundang – Undangan; (AB).
Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Pengadilan (RO).
Kitaab Undang – Undang Hukum Perdata (BW).
Kitab Undang – Undang Hukum Dagang (WvK)
Ketentuan – ketentuan tentang kejahatan yang dilakukan pada kesempatan jatuh pailit dan terbukti tidak mampu, begitu pula kala diadakan penangguhan pembayaran utang (Pasal 1)
Peraturan acara perdata untuk (Hooggerechtshof dan Raad van Justitie).
Peraturan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan perkara criminal mengenai golongan Bumiputra dan orang – orang yang dipersamakan (Pasal 4).
Yang disebut belakangan in yang disebut reglement op de uitofening van de politie, de burgelijke rechtspleging en de strafvordering onder de Inlanders en de Oosterlingen of Java en Madoera.

INLANDS REGLEMENT KEMUDIAN HERZIENE INLANDS REGLEMENT

Salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan pengumuman Gubenur Jendral tanggal 3 Desember 1847 Sbld Nomor 57 ialah Inlands Reglement atau didingkat IR.
Reglement tersebut berisi acara perdata dan acara pidana. Mr. H.L. Wichers tidak mengalami kesulitan dalam hal penyusunan bagian acara pidana, karena ia mengambil sebagian besar dari reglement op de Strafvordering untuk Raad van Justitie. Mengenai rancangan itu Procureur Generaal (Jaksa Agung Hindia Belanda) pada waktu itu yaitu Mr. Hultman berpendapat bahwa itu terlalu sulit untuk dilaksanakan, sehingga nanti mengakibatkan bertimbunnya pekerjaan openbaar ministerie (penuntut umum) dan juga bagi Procureur Generaal.
Gubernur Jenderal Rochussen sendiri masih khawatir tentang diberlakukannya reglemen tersebut bagi orang Bumiputra, jangan – jangan terlampau jauh memasuki kehidupan mereka, sehingga reglement tersebut masih dipandang sebagai percobaan.
Menurut Supomo, Mr. Wichers ini penganjur politik pendesakan hukum adat secara sistematis serta berangsur – angsur oleh hukum Eropa. Akan tetapi Gubenur Genderal tidak menyetujuinya. Ia beranggapan bahwa perombakan atau pemecahan masyarakat Jawa itu berbahaya dan tidak politis, selama belum dapat dibentuk masyarakat lain yang tetap sentosa sebagai penggantinya dan yang terakhir ini tidak dapat dikira – kirakan selama orang Bumiputra itu tetap beragama Islam dan bukan Kristen
Mr. Wichers mengadakan beberapa perbaikan atas anjurannya Gubenur Jendral , dan diumumkan pada tanggal 5 April 1848, Sbld Nomor 16, dan dikuatkan dengan firman Raja tanggal 29 September 1849 Nomor 93, diumumkannya dalam Sbld 1849 Nomor 63.
Reglement tersebut beberapa kali diubah dan diumumkankembali dengan Sbld 1926 Nomor 559 jo. 496. Sesudah tahun 1926 masih diadakan perubahan, yang terpenting ialah yang diumumkan dengan Sbld1941 Nomor 32 jo. 98.
Dengan Sbld 1941 Nomor 44 diumumkan kembali dengan nama Herziene Inlands Reglement atau HIR. Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan perubahan itu dibentuk lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum, yang dahulu ditempatkan di bawah pamong praja. Dengan perubahan ini maka Openbaar Ministerie (OM) atau Perket itu secara bulatdan tidak terpisah – pisahkan (een en ondeelbaar) berada di bawah Officiervan Justitie dan Procureur Generaal.
Dalam Praktek, IR masih berlaku di samping HIR di Jawa dan Madura. HIR berlaku di kota – kota besar seperti Jakarta (Batavia), Semarang, Surabaya, Malang, dan lain – lain, sedangkan dikota – kota lain berlaku IR.
Untuk golongan Bumiputra, selain yang telah disebut dimuka masih ada pengadilan lain seperti districgerecht, regentschapsgerecht, dan luar Jawa dan Madura terdapat magistraatsgerecht menurut ketantuan Reglement Buitengewesten yang memutus perkara yang kecil.
Sebagai pengadilan yang tertinggi meliputi seluruh “Hindia Belanda”, ialah Hooggerechtshof yang putusan – putusan disebut arrest. Tugas diatur dalam Pasal 158 Indische Staatsregeling dan RO.

ACARA PIDANA PADA ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG DAN SESUDAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN

Pada zaman pendudukan Jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan asasi kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan Undang undang (Osamu Serei) No 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 dikeluarkan aturan peralihan di Jawa dan Mardura yang berbunyi  : “Semua badan – badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang – undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer” (Pasal 3).
Acara pidana pada umumnya tidak berubah. HIR dan Reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechtsreglement berlaku untuk Pengadilan Negeri  (Tihoo Hooin). Pengadilan Tinggi (Kootoo Hooin) dan Pengadilan Agung (Saiko Hooin). Susunan pengadilan ini diatur dengan Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 Tanggal 20 September 1942.
Pada tiap macam pengadilan itu ada kejaksaan, yaitu Saikoo Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Agung, Kootoo Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Tinggi, dan Tihoo Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Negeri.
Pada saat proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal II aturan Peralihan UUD 1945.
Untuk memperkuat aturan peralihan ini, maka Presiden mengeluarkan suatu peraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut peraturan Nomor 2.

HUKUM ACARA PIDANA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1 (DRT) TAHUN 1951

Dengan undang – undang tersebut dapat dikatakan telah diadakan unifikasi hukum acara pidanadan susunanpengadilan yang beraneka ragam sebelumnya. Menurut Pasal 1 undang – undang tersebut dihapus yaitu sebagai berikut :
  1. Mahkamah Yustisi di Makasar dan alat penuntut umum padanya.
  2. Appelraad di Makasar.
  3. Apeelraad di Medan.
  4. Segala pengadilan Negara dan segala landgerecht (cara baru) dan alat penuntut umum padanya.
  5. Segala pengadilan kepolisian dan alat penuntut umum padanya.
  6. Segala pengadilan magistraad (pengadilan rendah).
  7. Segala pengadilan kabupaten
  8. Segala raad distrik.
  9. Segala pengadilan negorij.
  10. Pengadilan swapraja.
  11. Pengadilan adat.

Hakim perdamaian desa yang diatur oleh Pasal 3a RO itu masih berhak hidup dengan alasan sebagai berikut :
  1. Yang dicabut oleh KUHAP ialah yang mengenai acara pidana sedangkan HIR dan Undang – undang Nomor 1 (drt) 1951 juga mengatur acara perdata dan hukum pidana materiil.
  2. Undang – undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juga tidak menghapusnya.

LAHIRNYA KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

Setelah lahirnya orde baru terbukalah kesempatan  untuk membangun segala segi kehidupan. Puluhan undang – undang diciptakan, terutama merupakan pengganti peraturan warisan colonial.
Sejak Oemar Seno Adji menjabat Menteri Kehakiman, dibentuk suatu panitia di departemen Kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana undang – undang Hukum Acara Pidana. Pada waktu Mochtar Kusumaatmadja menggantikan Oemar Seno Adji menjadi Menteri Kehakiman, penyempurnaan rencana itu diteruskan. Pada Tahun 1974 rencana terseut dilimpahkan kepada Sekretariat Negara dan kemudian dibahas olehwmpat instansi, yaitu Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Hankam termasuk didalamnya Polri dan Departemen Kehakiman.
Setelah Moedjono menjadi Menteri Kehakiman, kegiatan dalam penyusunan rencana tersebut diitensifkan. Akhirnya, Rancangan Undang – undang Hukum Acara Pidana itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan amanat Presiden pada tanggal 12 September1979 Nomor R.08/P.U./IX/1979.
Yang terakhir menjadi masalah dalam pembicaran Tim Sinkronisasi dengan wakil pemerintah, ialah pasal peralihan yang kemudian dikenal dengan Pasal 284.
Pasal 284 ayat (2) menjajikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan kembali terhadap hukum acara pidana khusus seperti misalnya yang terdapat dalam Undang – undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tapi kenyataannya setelah 19 tahun berlakunya KUHAP, tidak ada tanda – tanda adanya usaha untuk meninjau kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP Nomor 27 Tahun 1983 telah ditegaskan oleh Pemerintah bahwa penyidikan delik – delik dalam perundang – undangan pidana khusus tersebut, dilakukan oleh berikut ini.
  1.  
    1. Penyidik
    2. Jaksa.
    3. Pejabat Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan peraturan perundang – undangan (Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983).

Rancangan Undang – Undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh siding paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981, kemudian Presiden mensahkan menjadi undang – undang pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama KITAB UNDANG – UNDANG ACARA PIDANA (Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209.

»»  READMORE...

MK: HUKUM ACARA PERDATA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Hukum Acara Perdata
Sebagai bagian dari hokum acara (formeel recht), maka Hukum Acara Perdata mempunyai ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan menegakan ketentuan-ketentuan hukum perdata materil. Oleh karena itu eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata materil.
Adapun beberapa pengertian hukum acara perdata menurut beberapa pakar hukum
a. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH
Beliau mengemukakan batasan bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.
b. Prof. Dr. Sudikno Mertukusumo, SH
Member batasan hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana caranyamenjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada putusannya.
c. Prof. Dr. R. Supomo, SH
Dengan tanpa memberikan suatu batasan tertentu, tapi melalui visi tugas dan peranan hakin menjelaskan bahwasanya dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.
Berdasarkan pengertian –pengertian yang dikemukakan diatas serta dengan bertitik tolak kepada aspek toeritis dalam praktek peradilan, maka pada asasnya hukum acara perdata adalah :
1. Peraturan hukum yang mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses seseorang mengajukan perkara perdata kepada hakim/pengadilan. Dalam konteks ini, pengajuan perkara perdata timbul karena adanya orang yang merasa haknya dilanggar orang lain, kemudian dibuatlah surat gugatan sesuai syarat peraturan perundang-undangan.
2. Peraturan hukum yang menjamin, mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses hakim mengadili perkara perdata. Dalam mengadili perkara perdata, hakim harus mendengar kedua belah pihak berperkara (asas Audi Et Alterm Partem). Disamping itu juga, proses mengadili perkara, hakim juga bertitik tolak kepada peristiwanya hukumnya, hukum pembuktian dan alat bukti kedua belah pihak sesuai ketentuan perundang-undangan selaku positif (Ius Constitutum)
3. Peraturan hukum yang mengatur proses bagaimana caranya hakim memutus perkara perdata.
4. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan putusan hakim (Eksekusi)
1.2 Sumber-sumber hukum acara perdata.
Dalam praktek peradilan di Indonesia saat ini, sumber-sumber hukum acara perdata terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan.
a. HIR (Het Herzine Indonesich Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848.
b. RBg (Reglemen Buitengwesten) Staatblad 1927 No 277
c. Rv (Reglemen Hukum Acara Perdata Untuk golongan Eropa) Staatblad No 52 Jo Staatblad 1849 No.63. namun sekarang ini Rv tidak lagi digunakan karena berisi ketentuan hukum acara perdata khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengan mereka dimuka (Raad van Justitie dan Residentiegerecht. Tetapi Raad Van Justitie telah dihapus, sehingga Rv tidak berlaku lagi. Akan tetapi dalam praktek peradilan saat ini eksistensi ketentuan dalam Rv oleh Judex Facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) serta mahkamah agung RI tetap dipergunakan dan dipertahankan. Mis : Ketentuan tentang Uang paksa(dwangsom) dan intervensi gugatan perdata.
d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
e. Undang-Undang.
1. UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. UU No.5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, yang mengatur tentang hukum acara kasasi
3. UU No.8 Tahuun 2004 Tentang Peradilan Umum.
4. UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
5. UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya.
6. UU No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
1.3 Asas-Asas Hukum Acara Perdata Indonesia
Bertitik tolak kepada praktek peradilan Indonesia maka dapatlah disebutkan beberapa asas-asas umum hukum acara perdata Indonesia.
a. Peradilan yang terbuka untuk umum (Openbaarheid Van Rechtsspraak)
Peradilan yang terbuka untuk umum merupakan aspek fundamental dari hukum acara perdata. Sebelum perkara disidangkan, maka hakim ketua harus menyatakan bahwa “persidangan terbuka untuk umum” sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. (Mis : dalam perkara persidangan perkara perceraian siding dinyatakan tertutup untuk umum. Apabila hal ini tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 19 Ayat 1 dan 2 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
b. Hakim bersifat Pasif (Lijdelijkeheid Van De Rehter)
Dalam asas ini terdapat sebuah aturan yang dikenal dengan (Nemo Judex Sine Actore) yang artinya apabila gugatan tidak diajukan oleh para pihak, maka tidak ada hakim yang mengadili perkara bersangkutan.
c. Mendengar Kedua belah pihak.
d. Pemeriksaan dalam dua instansi (Onderzoek In Tween Instanties)
e. Pengawasan Putusan Lewat Kasasi.
f. Peradilan dengan membayar biaya.
Peradilan perkara perdata pada asanya dikenakan biaya perkara (Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5 Ayat 2, UU No 4 Tahun 2004. Pasal 121 Ayat 4 HIR/Pasal 145 Ayat 4, 192, 194 RBg. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk berperkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo).
1.4 Susunan Badan Peradilan di Indonesia.
Menurut UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh mahkamah agung dan badan peradilan dibawahnya. Jenis dan dasar badan peradilan di Indonesia terdapat dalam pasal 10 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004, dikenal empat lingkungan peradilan di Indonesia yaitu :
a. Peradilan Umum (UU No 8 Tahun 2004)
b. Peradilan Agama (UU No 3 Tahun 2006)
Dalam perdalilan agama membawahi Pengadilan Agama Neger
c. Peradilan Militer (UU No 31 Tahun 1997)
d. Peradilan Tata Usaha Negara (UU No 9 Tahun 2004)
Keempat badan peradilan tersebut kesemuanya dibawah Mahkamah Agung RI. Berdasarkan pasal 11 (1) UU No 4 Tahun 2004. Mahkamah Agung RI merupakan pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan diatas. Selanjutnya pada ayat dua (2) disebutkan, kewenangan Mahkamah Agung RI adalah :
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan dimana semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung.
b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
c. Kewenangan lain yang diberikan undang-undang.
Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai perkara perdata maupun pidana yang dijalankan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Di dalam peradilan umum diberntuk beberapa pengadilan khusus yang berada dilingkungan pengadilan negeri yaitu :
1. Pengadilan niaga (pasal 280 UU No.4 Tahun 1998 Tentang kepailitan)
2. Pengadilan anak (pasal 2 UU No.3 Tahun 1997 Tentang pengadilan anak)
3. Pengadilan hak asasi manusia (pasal 2 UU No.26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM)
4. Pengadilan tindak pidana korupsi
5. Pengadilan hubungan industrial (pasal 1 angka 17 UU No.2 Tahun 2004 Tentang penyelesaian Perselisihan hubungan industrial.)
6. Pengadilan perikanan.
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Berdasarkan UU No.3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama, kewenangan pengadilan agama diperluas sebagaimana diatur dalam pasal 49 yaitu :pengadilan agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infaq, zakat, dan ekonomi syari’ah.
BAB II
PEMBERIAN KUASA (LASTGEVING)
2.1 Pemberian Kuasa (Lastgeving)
A. Pengertian Kuasa.
Secara Umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam BAB ke enambelas, buku III KUHPerdata tentang perikatan. Sedangkan aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. Untuk memahami arti dari pengertian kuasa secara umum dapat dirujuk pada pasal 1792 KUHPerdta yang berbunyi “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”
Bertitik tolak dari pasal 1792 KUHPerdata tersebut diatas, dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak terdiri dari :
a. Pemberi kuasa atau letsgever (Instruction, Mandate)
b. Penerima kuasa yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
B. Berakhirnya Kuasa
Berdasarkan pasal 1813 KUHPerdata, hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa adalah sebagai berikut :
1. Pemberi kuasa menarik kembaliu secara sepihak.
Ketentuan pencabutan kembali kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam pasal 1814 KUHPerdata dengan acuan. :
a. Pencabutan tanpa melakuakan persetujuan dari penerima kuasa
b. Pencabutan dapat dilakuakan secara tegas dalam bentuk mencabut secara tegas dan tertulis atau meminta kembali surat kuasa dari penerima kuasa.
c. Pencabutan secara diam-diam berdasarkan pasal 1816 KUHPerdata.
2. Salah satu puhak meninggal dunia
Dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum.
3. Penerima kuasa melepas kuasa.
Pasal 1817 KUHPerdata member hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepas kuasa yang diterimanya dengan syarat :
a. Hsarus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa
b. Pelepasan tidak boleh dilakuakan pada saat yang tidak layak. Ukuran tentang hal ini didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.
C. Jenis-Jenis Kuasa.
1. Kuasa Umum (pasal 1795 KUHPerdata)
2. Kuasa khusus (pasal 1795 KUHPerdata)
3. Kuasa Istimewa (pasal 1796 KUHPerdata)
4. Kuasa perantara (pasal 1792 KUHPerdata dan pasal 62 KUHD)
D. Kuasa Menurut Hukum
Kuasa menurut hukum disebut juga Wettelijke Vertegnwoording atau Legal Mandatory. Maksudnya undang-undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan untuk dengan sendirinya bertindak mewakili. Beberapa kuasa hukum adalah sebagai berikut :
1) Wali terhadap anak dibawah umur (pasal 51 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
2) Curator atas orang tidak waras.
3) Orang tua terhadap anak yang belum dewasa (pasal 45 (2) UU No 1 Tahun 1974
4) BPH sebagai curator kepailitan
5) Direksi atau pengurus badan hukum
6) Direksi perusahaan persoroan (persero)
7) Pimpinan perwakilan perusahaan asing
                  8) Pimpinan cabang perusahaan domestic
»»  READMORE...

MK: JURNALISTIK

Pengertian Jurnalistik: Ragam Definisi Jurnalistik

Secara harfiah (etimologis, asal usul kata), jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran catatan harian.
1. Jurnalistik : yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran. (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
2. Jurnalistik: “kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya”. (Kamus Umum Bahasa Indonesia).
3. Jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan, penafsiran dan pengkajian) secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada. (Ensiklopedi Indonesia).
4. Jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting dan menyebarkan berita dan karangan utuk surat kabar, majalah, dan media massa lainnya seperti radio dan televisi. (Leksikon Komunikasi).
5. Journalism: the profession of gathering, writing, editing, publishing news, as for the newspaper and other print and broadcast media. Journal: a daily & diary record, hence sometimes used as a synonym for a newspaper, a printed record of proceeding. (Webster’s New World: Dictionary of Media and Communication).
6. Journalism is the craft of conveying news, descriptive material and comment via a widening spectrum of media. These include newspapers, magazines, radio and television, the internet and even, more recently, the cellphone. (Wikipedia).
7. Journalist is the occupation if editing and writing newspaper and magazines. (Webster Tower Dictionary)
8. Jurnalistik adalah proses kegiatan mengolah, menulis, dan menyebarluaskan berita dan atau opini melalui media massa. (Asep Syamsul M. Romli. 2003. Jurnalistik Dakwah. Bandung: Rosda).
9. Journalism ambraces all the forms in which and trough which the news and moment on the news reach the public. (F. Fraser Bond).
10. Jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya. (M. Djen Amar).
11. Jurnalistik adalah suatu kepandaian praktis mengumpulkan, mengedit berita untuki pemberitaan dalam surat kabar, majalah, atau terbitan terbitan berkala lainnya. Selain bersifat ketrampilan praktis, jurnalistik merupakan seni. (M. Ridwan).
12. Jurnalistik adalah teknik mengelola berita sejak dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak. Pada mulanya jurnalistik hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informatif saja. (Onong U. Effendi).
13. Jurnalistik adalah semacam kepandaian karang-mengarang yang pokoknya memberi perkabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya. (Adinegoro).
14. Jurnalistik adalah segala sesuatu yang menyangkut kewartawanan (Summanang).
15. Jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan, penafsiran, pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati, hiburan umum secara sistematis dan dapat dipercaya untuk diterbitkan pada surat kabar, majalah, dan disiarkan di stasiun siaran. (Roland E. Wolseley).
16. Jurnalistik adalah kegiatan pencatatan dan atau pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari. (Astrid S. Susanto).
17. Jurnalistik adalah pengiriman informasi dari sini ke sana dengan benar, seksama, dan cepat, dalam rangka membela kebenaran dan keadilan. (Erik Hodgins).
18. Jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya mengenai berbagai peritiwaatau kejadian sehari-hari yang aktualdan factual dalam waktu yang secepat-cepatnya. (A.W. Widjaya).
19. Definisi tentang jurnalistik cukup banyak. Namun dari definisi-definisi tersebut memiliki kesamaan secara umum. Semua definisi juranlistik memasukan unsur media massa, penulisan berita, dan waktu yang tertentu (aktualitas). (A. Muis).
20. Dalam jurnalistik selalu harus ada unsur kesegaran waktu (timeliness atau aktualitas). Seorang jurnalis memiliki dua fungsi utama. Pertama, fungsi jurnalis adalah melaporkan berita. Kedua, membuat interpretasi dan memberikan pendapat yang didasarkan pada beritanya. (Edwin Emery).
21. Journalism covers all mankind’s activities, and challenging to the intellect. Journalism encompasses fields ranging from reporting with words and photographs to editing, and from newspaper to television. Journalists are the eyes, ears and curiosity of the public and must be so broad in their outlook that they can translate events in many fields. (Spencer Crump).
22. Jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta & melaporkan peristiwa (Mac Dougall)
23. Jurnalistik atau jurnalisme berasar dari kata Journal: catatan harian. Catatan mengenai kejadian sehari-hari atau bisa juga berarti surat kabar. Journal berasal dari kata latin diurnalis, artinya harian atau tiap hari. Dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan Jurnalistik. (Hikmat & Purna,a Kusumaningrat).
24. Jurnalistik adalah kepandaian yang praktis, objek di samping objek-objek ilmu publisistik, yang mempelajari seluk beluk penyiaran berita dalam keseluruhannya dengan meninjau segala saluran, bukan saja pers tapi juga radio, TV, film, teater, rapat-rapat umum dan segala lapangan. (Adinegoro)
25. Jurnalistik merupakan penulisan tentang hal-hal yang penting dan tidak kita ketahui. (Leslie Stephen)
26. Jurnalistik adalah pengiriman informasi dari tempat yang satu ke tempat yang lain dengan benar, seksama dan cepat, dalam rangka membela kebenaran dan keadilan berpikir, yang selalu dapat dibuktikan. (Erik Hodgins)
27. Jurnalistik adalah seni dan keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusuri dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya. (Kustadi Suhandang)
28. Jurnalistik atau jurnalisme merupakan pekerjaan kewartawanan untuk mengumpulkan, menulis, mengedit dan menerbitkan berita di dalam surat kabar. (Martin Moenthadi).
29. Pengertian jurnalistik menurut ilmu publisistik adalah hal-hal yang berkaitan dengan menyiarkan berita atau ulasan berita tentang peristiwa sehari-hari yang umum dan actual dengan secepat-cepatnya. (Amilia Indriyati).
Referensi:
1. Assegaff. 1982. Jurnalistik Masa Kini: Pengantar Ke Praktek Kewartawanan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
2. Muis, A. 1999. Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Dharu Annutama.
3. Romli, Asep Syamsul M. 2005. Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan. Bandung: Batic Press.
4. Santana K., Septiawan. 2005. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Obor.
5. Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik. Bandung: Penerbit Nuansa.
6. Sumadiria, AS Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.*



»»  READMORE...

MK: KEBIJAKAN PUBLIK (1)

 

 KEBIJAKAN PUBLIK


“Paradigma baru kebijakan publik adalah kembalinya peran dasar pemerintah sebagai public service, jadi baik penerimaan maupun pengeluaran berorientasi kepada pelayanan publik. Paradigma baru tidak bisa diterjemahkan sebagai penambahan beban bagi masyarakat.” Dr. H. Masykur Wiratmo (alm) Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan restribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi. Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi kebijakan publik. Dan sistem politik itu bisa berupa negara, propinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan RW. “Institusi” seperti ASEAN, PBB dan WTO adalah sistem politik juga, yang dapat disebut supra-negara.
               Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi (saja), melainkan dapat pula dilaksanakan oleh perusahaan swasta, LSM ataupun masyarakat langsung. Misalnya, suatu sistem politik dapat memutuskan untuk memberantas nyamuk. Sistem politik itu dapat memerintah –tentu saja disertai kompensasi—sebuah perusahaan swasta untuk melakukan penyemprotan nyamuk. Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Bagaimana keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan. Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan. Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak. Dalam masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik.
               Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya. Dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat dipahami dengan cara memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan dan publik. Terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. Artinya kebijakan merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang ada. Dalam konteks makro hal ini kemudian diangkat dalam porsi pengambilan keputusan. Charles Lindblom adalah akdemisi yang menyatakan bahwa kebijakan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan. Karena pada hakikatnya sama-sama memilih diantara opsi yang tersedia. Sedangkan terminologi publik memperlihatkan keluasan yang luar biasa untuk didefinisikan. Akan tetapi dalam hal ini setidaknya kita bisa mengatakan bahwa publik berkaitan erat dengan state, market dan civil society, Merekalah yang kemudian menjadi aktor dalam arena publik. Sehingga publik dapat dipahami sebagai sebuah ruang dimensi yang menampakan interaksi ketiga actor tersebut.   Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan. Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo, 2002). Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti, 1992).
       Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai politik selnjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat.
     Kekuasaan cenderung korup adalah ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Power tends to crrupct. Apa benar?? Memang belum tentu benar, tetapi ungkapan tersebut tentu telah melalui penelitian dan pengalaman bertahun-tahun. Jangan heran jika banyak orang menyebut bahwa ‘kebijakan dibuat untuk dilanggar’. Dengan dalih untuk kepentingan umum, kini kebijakan sulit dipercaya, sebagian menduga kebijakan tak lain untuk memenangkan kelompok tertentu. Kebijakan publik adalah kalimat yang kini banyak diadopsi oleh semua gerakan masyarakat sipil. Dengan mengaitkan semua perjuangan sosial pada bendera kebijakan publik maka diharapkan ada kucuran uang yang mengalir. Kebijakan baru dibuat kini bisa dibayangkan sebagai ‘lahan’ garapan yang hanya memuaskan perut dan hawa nafsu kelompok tertentu. Bahkan parahnya mereka seakan tidak tahu malu mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuat secara terang-terangan. Kita tahu bahwa kebijakan semata dibuat untuk memperbaiki semua keadaan, namun kini terbalik kebijakan hanya dijadikan tameng kelompok tertentu yang memiliki kepentingan lain di atas kebijakan yang dibuat. Fadillah Putra, Dosen Unibraw Malang dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Tidak untuk Kepentingan Publik, mencoba mengungkapkan dengan tajam dan satir mengenai kebijakan publik meminggirkan peran rakyat. Menghadap kita pada kenyataan-kenyataan yang memunculkan berbagai pertanyaan, sesungguhnya kebijakan berpihak pada siapa? Karena sudah banyak kebijakan yang lahir tanpa melalui pertimbangan kemanusiaan, dan buah dari kebijakan inilah yang membawa musibah bagi publik. Faktanya kebijakan publik bukannya untuk menentramkan, malah menyengsarakan. Sedangkan kebijakan yang menindas kaum miskin, seolah menjadi hal yang lumrah. Fadillah mencoba menggambarkan beberapa kebijakan pemerintah yang bukan mencari solusi namun menambah persoalan baru, baginya semua cara akan menjadi halal apabila banyak yang ‘menikmati’. Pemikiran Fadillah ternyata cukup mewakili aspirasi dan realitas yang ada di Provinsi Banten, kita ingat menjelang Pemilu 2004 silam anggota DPRD Banten membuat kebijakan anggaran untuk dana Perumahan mereka, dana perumahan di ambil dari dana tak terduga yang seharusnya dana tersebut di peruntukkan sebagai dana taktis yang dapat di gunakan sewaktu-waktu apabila terjadi sesuatu musibah yang terjadi di masyarakat, di saat itu terjadi kebanjiran di wilayah labuan Pandeglang. Pemprov Banten tak berdaya karena dana tak terduga sudah di belanjakan untuk mengontrak rumah sendiri Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Banten yang penuntasannya hingga kini masih “tebang pilih”. Melalui Lobi dan deal politik dengan para petinggi birokrasi memuluskan ambisi melalui produk kebijakan publik. Kalau sudah begini yang namanya money politics tentu menjadi kewajiban. Kebijakan publik di sektor tata ruang sering kali tdak memiliki sensitivitas terhadap lingkungan hidup, entah terlampau teknokratik atau ekonomis. Sehingga andaikata kebijakan publik dilaksanakan dengan jujur dan tanpa KKN sekalipun, bila masih teknokratik, lingkungan akan tetap rusak, sebab semuanya dihitung secara ekonomis. Seperti halnya dalam penentuan pusat Ibukota Kabupaten Serang yang lalu di Kecamatan Baros, sangat menafikan aspirasi masyarakat Kabupaten Serang yang selama ini menginginkan adanya pemekaran, di samping Baros sebagai kawasan hijau dan daerah resapan yang amat potensial merusak lingkungan. Kebijakan tata ruang dibuat untuk memberikan keuntungan pengusaha properti tertentu. Cukong-cukong tanah, si pengusaha properti memberi sogokan dan pemerintah memberi fasilitas kebijakan. Smith mengatakan ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses kebijakan. Pertama, idealized policy yakni pola interaksi yang secara ideal mendorong, mempengaruhi dan merangsang target grup dalam pelaksanaannya. Kedua, target grup, bagian dari policy stakeholders diharapkan sebagai perumus kebijakan yang dapat menyesuaikan pola perilaku dengan kebijakan yang dirumuskan. Ketiga, implementing organization adalah badan pelaksana atau unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam kebijakan. Keempat, environmenental factor, yaitu unsur-unsur dalam lingkungan yang mempengaruhi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik). Jika kita mengacu pada pola Smith, maka bukan mustahil jika kebijakan yang kita buat benar-benar adil tanpa ada pihak lain yang mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut.
      Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik yang ditulis oleh DR. Joko Widodo, M.S, seorang widyaiswara Diklatpim Jawa Timur dengan ringan membahas dasar-dasar analisis kebijakan publik. DR. Joko Widodo, M.S., memberikan gambaran situasi pasca reformasi, dimana pemerintah saat ini sedang mengupayakan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Dan memang karena beliau orang daerah, maka otonomi daerah menjadi dasar pijakan beliau untuk memulai uraian analisis kebijakan publik. Untuk menghadapi situasi yang ada sekarang ini, menuntut ditingkatkannya profesionalisme mesin birokrasi. “Pemerintahan pada dasarnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama”. Dalam pandangan Weberian prinsip-prinsip mengenai birokrasi, dimana dalam pandangannya, birokrasi diciptakan untuk melayani dan profesional. Sesuai dengan pandangan ini, kinerja birokrasi harus bisa dipertanggungjawabkan kepada khalayak umum, sebab government organizations are created by the public, for the public and need to be accountable to it. Sebuah birokrasi harus akuntable, terbuka dan transparan.

Implementasi kebijakan publik
Kebijakan publik paling tidak mengandung tiga komponen dasar, yaitu:
 (1) tujuan yang hendak dicapai,
(2) sasaran yang spesifik, dan
(3) cara mencapai sasaran tersebut.
     Cara mencapai sasaran inilah yang sering disebut dengan implementasi, yang biasanya diterjemahkan ke dalam program-program aksi dan proyek. Aktivitas implementasi ini biasanya terkandung di dalamnya: siapa pelaksananya, besar dana dan sumbernya, siapa kelompok sasarannya, bagaimana manajemen program atau proyeknya, dan bagaimana keberhasilan atau kinerja program diukur. Secara singkat implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Tujuan kebijakan pada hakekatnya adalah melakukan intervensi. Oleh karenanya implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri.
Presman dan Wildavsky (1973: xiii) mendefinisikan implementasi kebijakan seperti apa yang dikatakan oleh Webster and Roget, sebagai “to carry out, accomplish, fulfill, produce, complete”. Di sini mereka memulai studi mereka dengan asumsi bahwa implementasi adalah getting things done. Sedang Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan implementasi kebijakan sebagai “those actions by public and private individual (or groups) that are directed at the achivement of objectives set forth in prior policy decisions”.

Martin Rein and Francise Rabinovitz, dalam bukunya Implementation: A Theoritical Perspective (1978), mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai :
(a) a declaration of government preferences;
(b) mediated by a number of actors who,
(c) create a circular process characterized by reciprocal power relations and negotiations.
Mereka mengindikasikan bahwa proses implementasi didominasi oleh tiga “potentially conflicting imperatives”, yaitu:
a. The legal imperative (respect for legal intent. To do what is legally required. This imperative stresses the importance of subordinate compliance to rules which derive from legislative mandates along the lines discribed by Lowi’s “classical” theory).
b. The rational bureaucratic imperative (what from a bureaucratic point of view is morally correct, administrative feasible, and intelectually defensible course of action. Emphasis here is on such bureaucratic norms as consistency of principles, workability, and concern for institutional maintenance, protection, and growth).
c. The concensual imperative (to do what is necessary to attract agreement among contending influential parties who have a stake in the outcome)
Mazmanian dan Sabatier (1983) memberikan gambaran bagaimana melakukan intervensi atau implementasi kebijakan dengan langkah sebagai berikut:
(1) mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi,
(2) menegaskan tujuan yang hendak dicapai, dan
 (3) merancang struktur proses implementasi.
Program dengan demikian harus disusun secara jelas, jika masih bersifat umum, program harus diterjemahkan secara lebih operasional menjadi proyek. Dalam siklus kebijakan publik, dengan demikian tindakan implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan yang amat penting dari keseluruhan proses kebijakan publik. Implementasi kebijakan merupakan serangkaian kegiatan (tindakan) setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu kegiatan implementasi, maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan menjadi sia-sia. Implementasi kebijakan dengan demikian merupakan rantai yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan. Kelahiran studi implementasi kebijakan di awali oleh banyaknya kegagalan yang dialami oleh negara-negara maju dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan publik yang telah dibuat. Sebagai contoh kebijakan Departemen Pertahanan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Ronald Reagen dalam perang di Timur Tengah. Perang ini telah menimbulkan defisit keuangan negara yang sangat besar bagi Amerika Serikat. Warga negara AS kemudian mengkritik pemerintah dan mengancam tidak mau membayar pajak. Pada hal keuangan negara AS sangat tergantung dari pajak yang dibayarkan oleh warganegaranya.
      Kegagalan implementasi kebijakan tersebut kemudian memunculkan minat para pakar kebijakan publik untuk mengkaji dan mencari penyebab kegagalan tersebut. Artinya studi (research) tentang implementasi kebijakan dilakukan untuk mengetahui (mencari) faktor penghambat dan pendukung implementasi suatu kebijakan. Hasil studi yang diperoleh selanjutnya dijadikan referensi (acuan) bagi pelaksanaan kebijakan publik selanjutnya.
PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK
MODEL KEBIJAKAN
(Allison, 1981)
1.      Rational actor;Sosok pemerintah sebagai kotakhitam, spt aktor individual
2.      Organisational process;Kebijakan sebagai output organisasi, dg struktur, system koordinasi, kerjasama antarsatuan, SOP. Ekspektasi terhadap kebijakan: inkremental
3.      Bureaucratic politics; Kebijakan pemerintah adl produk politik, tawar-menawar, tergantung persepsi dan posisi para pelaku. “Where you stand depends on where you sit”.

INSTRUMEN KEBIJAKAN
1.      Peraturan perundangan; Kewenangan membuat peraturan
perundangan adalah sumberdaya unik bagi pemerintah
2.      Layanan umum (public services); Pemerintah = organisasi penyelenggara layanan umum paling besar. Catatan: terkadang swasta & Ornop lebih efektif, efisien
3.      Dana; Ideal: 45% untuk kesra. Di Indonesia: 69% untuk aparat.
4.      Pajak; “The government giveth and the government taketh away”. Pembebasan pajak (tax holiday) & pajak progresif sebagai instrument distribusi.
5.      Imbauan (suasion); Atas nama kepentingan umum, pemerintah punya posisi lebih baik untuk menyampaikan imbauan.

TATA URUTAN PERUNDANGAN
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang
4. Perpu
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah.
Catatan:
1. Semua pihak harus dilindungi haknya
2. Efektivitas perundangan berlainlainan. Kelengkapan perundangan tidak menjamin kualitas kebijakan yg baik
3. Pelaksanaan peraturan jauh lebih penting daripada ratifikasinya.

TANTANGAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA
1. Mewujudkan Negara kesejahteraan (welfare state)
2. Pemberantasan korupsi
3. Partisipasi
4. Desentralisasi
5. Keberagaman
6. Posisi politik internasional
WELFARE STATE UNTUK INDONESIA ?
 Welfare State: Sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) untuk mengalokasikan dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya (Spicker, 1988)
Fakta di Indonesia:
a.      97,5% aset nasional ternyata dimiliki oleh 2,5% konglomerat
(BPS, 1997)
b.       SBY menargetkan pajak sebesar 19% dari PDB tetapi belanja kesejahteraan social hanya 4% dari PDB PROSES KEBIJAKAN (Jones, 1984) Justifikasi Rekomendasi Perubahan Solusi Masukan program ke pemerintah Evaluasi Penyesuaian “Terminasi” Layanan Pembayaran Kemudahan Pengawasan Tanggapan teknis pemerintah terhadap masalah Implementasi Proposal Program Anggaran Tindakan dari pemerintah Formulasi Legitimasi Penganggaran Masalah Tuntutan (demand) Akses Prioritas Masukan masalah ke pemerintah Persepsi Agregasi Organisasi Representasi Penyusunan agenda.
Kegiatan Kategori Produk
MODEL PERUMUSAN AGENDA
a.      Problem stream
b.      Policy stream
c.       Political stream
d.      Agenda


SIAPA YANG TERLIBAT DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN?
a.       Di dalam pemerintahan: eksekutif, birokrat, politisi.
Catatan: ada banyak pihak yang bekerja untuk aktor di pemerintahan: staf ahli, akademisi, kelompok profesional, staf khusus DPR, lembaga penelitian, konsultan, dsb
b.       Di luar pemerintahan: kepentingan pribadi, pengusaha, kelompok kepentingan, kelompok penekan. Masing-masing kelompok ini kemungkinan juga memiliki staf ahli, akademisi, konsultan, atau staf khusus.

KEMAMPUAN YANG DITUNTUT BAGI PERUMUS KEBIJAKAN
a.       Melihat kaitan kebijakan dengan isu eksternal. Mis: isu energi dengan lingkungan
b.       Melihat kaitan dengan isu internal. Misalnya: isu bencana banjir dengan perencanaan kota, konservasi lingkungan
c.        Mengetahui apa yang harus dilakukan; analisis data, pengalaman, intuisi
d.      Mengetahui dampak positif maupun negatif; projektif maupun reaktif.

SUMBERDAYA PERUMUS KEBIJAKAN
1. Inisiasi
2. Staff dan perencanaan
3. Komunikasi dan publisitas
4. Dukungan lembaga
5. Penggalangan antar-elit
6. Pendanaan
7. Sanksi dan control Inisiasi Komunikasi dan publisitas Penggalangan antar-elit Sanksi dan kontrol

SUMBERDAYA IDENTIFIKASI KEKUATAN PENGARUH (Leverage Points)
a.      Isu Tata-ruang
b.      Isu Pengangguran
c.       Isu Lingkungan (Bauer & Gergen, 1968:185)
BIROKRASI: MENGUBAH CONFLICT
MENJADI DISPUTE?
Respon birokrat thd konflik (Ellison, dlm Nagel & Mills, 1991) Inisiasi Stimulasi Eskalasi Cegah / Pendam Persempit / Mediasi Pecahkan / Resolusi Amati Biarkan Abaikan Hindari Sikap Terhadap Konflik:
+ _ Sikap Terhadap Tindakan
+_ LEGITIMIZING POLICIES (Mengabsahkan Kebijakan) Mengapa tidak semua rumusan kebijakan secara otomatis dapat terlaksana?
Persoalan legitimasi:
1.      Tidak semua perumus kebijakan paham tentang proses kebijakan, peka terhadap masalah publik, dan piawai dalam menyepadankan instrumen dan tujuan
2.      Pertentangan antar stake-holders tentang cara memecahkan masalah publik
3.       Banyak kepentingan yang belum terakomodasi
4.      Komunikasi dari para perumus kebijakan kurang efektif dan kurang berhasil meyakinkan publik.

BENTUK-BENTUK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
a.      Pelayanan; pendidikan, kesehatan, kependudukan
b.      Pembayaran; subsidi, BLT
c.       Kemudahan (access); infrastruktur, listrik, telepon
d.      Pengawasan; IMB, UU antimonopoli.
Tiga pilar implementasi (Jones, 1991):
1. Organisasi
2. Interpretasi
3. Pelaksanaan, prosedur / ketentuan rutin Konteks
Tata-Pemerintahan dan Kebijakan Publik
Outcome sebagai hasil kerjasama Jalur Input Output manajemen public Hasil bersama (coproduction) Penegakan Kinerja (enforcement) Perspektif yang tepat bagi implementasi Mengundang partisipasi Menunjukkan arah kebijakan Penciptaan kurang kerja Penilaian hasil Pembebanan (Imposing).
Analisis Kebjakan
Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan. Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2000: 117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu:
1. Analisis kebijakan prospektif. Analisis Kebijakan Prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.
2.  Analisis kebijakan retrospektif. Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni analis yang berorientasi pada disiplin, analis yang berorientasi pada masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.
3.   Analisis kebijakan yang terintegrasi. Analisis Kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.
     Salah satu esensi kehadiran kebijakan publik (public policy) adalah memecahkan masalah yang berkembang di masyarakat secara benar. Meskipun demikian, kegagalan sering terjadi karena kita memecahkan masalah secara tidak benar.
     Analisis kebijakan publik (public policy analysis) merupakan upaya untuk mencegah kegagalan dalam pemecahan masalah melalui kebijakan publik. Oleh karena itu, kehadiran analisis kebijakan berada pada setiap tahapan dalam proses kebijakan publik (public policy process). Buku ini membahas analisis kebijakan publik secara kritis, gamblang, dan mudah dipahami karena dalam menganalisis setiap tahapan poses kebijakan publik tidak sekadar disuguhkan teori dan konsep tetapi juga aplikasinya. Dengan demikian, buku ini tidak saja sangat laik dijadikan wacana bagi pembuat kebijakan (policy maker), tetapi juga bagi pelaku dan stakeholder kebijakan publik. Bahkan, sangat laik pula bagi mahasiswa, pemerhati kebijakan publik, dan khalayak sebagai kelompok sasaran (target groups) kebijakan publik.

»»  READMORE...